Secara administratip, Maubesi secara resmi dibuka sebagai stasi pada tahun 1937, dengan pastor pertama P. Van den Tillart,SVD. Saat itu stasi Maubesi mempunya wilayah yang sangat luas, meliputi wilayah paroki Manamas, paroki Wini, Paroki Mena, Paroki Fatuha’o, dan Paroki Mamsena. Ketika pada tanggal 3 Januari 1961 berdirilah hirarkhi Gereja di seluruh Indonesia, maka sejak itu semua Vikariat Apostolik ditingkatkan menjadi Dioses (keuskupan), dan semua stasi menjadi paroki. Dengan demikian Stasi Maubesi juga menjadi paroki Maubesi pada tahun 1961.
Walau gereja secara resmi baru berdiri pada tahun 1937, namun ada indikasi bahwa penduduk asli Maubesi telah mengenal agama Katolik sejak zaman Portugis menjelajahi Pulau Timor, dari tahun 1560 – 1662, dan terlebih ketika Mena menjadi pusat misi Portugis dari tahun 1590 – 1662. Indikasi ini terlihat dari nama tempat yang ada di Maubesi dan adanya salib dan buku yang tersimpan di beberapa rumah adat. Di lereng kaki gunung Maubesi dekat kali Maubesi ada tempat yang namanya “Klusa” (cruz=Portugis), yang artinya salib. Tempat itu sekarang menjadi tempat kuburan umum untuk orang Maubesi. Penulis pernah bertanya kepada para tua adat, mengapa nama itu digunakan. Para tua adat yang juga menerima cerita dari nenek moyangnya mengatakan bahwa pernah ada orang kulit putih tinggal di situ, dan mereka kemudian menanam sebuah salib di tempat itu. Hal ini memang memungkinkan karena ketika itu penduduk Maubesi, Mamsena, dan Kiupasan berdampingan mengitari lereng gunung Maubesi. Dan Maubesi saat itu menjadi pusat kerajaan, atau Kesel Maubes yaitu Usfinit. Kebiasaan misi Portugis saat itu adalah di mana ada kerajaan di situ mereka menetap. Dalam bukunya Daftar Kronologi Gereja Timor, P. Breunig, SVD menulis bahwa “karena kebutuhan akan misionaris di Timor semakin lama semakin banyak maka bulan Agustus tahun 1641 Padre Frei Antonio de Santo Jasinto mengirimkan dari Larantuka ke Mena Padre Frei Bento Serrao OP dan Frei Manuel da Resuresao OP yang kemudian ditugaskan untuk suatu gereja yang satu jam dari pantai dan delapan jam dari pedalaman.” Saat itu semua wilayah Timor Tengah memang dijelajah seluruhnya oleh para misionaris Portugis. Dan kemungkinan Maubesi juga termasuk dalam kunjungan-kunjungan ke pedalaman Timor Tengah itu.
Tahun 1913 ketika misi Gereja Timor diambil alih oleh Serikat Sabda Allah (SVD), P. Piet Noyen, SVD pernah mangadakan perjalanan ke Timor Tengah Utara di mana ia juga singgah di Maubesi. Dalam bukunya “Orang-orang katolik Indonesia1808-1942” (hal.280) Karel Steenbrink dan Paule Maas menulis bahwa dari tanggal 10 November hingga 13 Desember 1913 Prefek Apostolis Noyen dan P. A. Verstraelen melakukan perjalanan dari Lahurus ke Atapupu, Atambua dan kemudian ke arah barat Laut ke Maubesi, Kefamenanu, Oelolok, Insana, dan kembali melalui pantai selatan (Besikama dan Tubaki). Dalam perjalanan ini kedua imam itu juga berkunjung ke Bitauni dekat Maubesi, dimana terdapat dua buah altar, sebuah salib, satu patung Maria dan beberapa kaki lilin. Ketika itu P. Piet Noyen, SVD memutuskan bahwa di lingkungan sekitar gua suci ini mesti dibuka sebuah pos misi baru. Tapi dalam perkembangannya Tubaki menjadi tempat pertama di mana seorang imam berdiam,menyusul pendudukan kembali Atapupu. Maubesi dan gua Biatuninya mengalami kemunduran hingga tahun 1937.
Gedung Gereja pertama waktu itu letaknya di sudut cabang ke arah Wini di wilayah kampung Kuafeu, tepatnya berhadapan dengan lokasi SMP St. Yosep Maubesi sekarang. Pada tahun 1966, P. Gootte, SVD membangun gereja baru di tempat yang lebih luas dan strategis yaitu tepatnya di kampung Sobe sekarang. Dan menyusul tahun 1967 Gereja secara resmi pindah ke lokasi baru itu hingga sekarang. Seiring dengan perkembangan zaman, wilayah paroki Maubesi kemudian dimekarkan, menjadi paroki Manamas, paroki Mamsena, paroki Mena, Paroki Fatuha’o, dan paroki Wini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar