Pendahuluan
Tanggal 4 Agustus 2012 umat Paroki Maubesi merayakan Pesta pelindungnya Santo Yohanes Veaney. Bertepatan dengan perayaan tersebut, paroki Maubesi juga merayakan hari ulang tahunnya yang ke 75 atau yang biasa disebut Pesta Intan. Ada banyak persiapan menjelang Pesta tersebut, baik persiapan rohani maupun persiapan fisik. Kami diminta untuk mengarang lagu Mars Paroki Maubesi, dan juga yang lagi digarap adalah sebuah buku kenangan,
yang sebelum direncanakan untuk diluncurkan pada hari h-nya tetapi karena kendala teknis pengumpulan data maka penerbitannya pun ditunda. Semoga selesai pada tahun ini. Ketika ada perayaan seperti ini, entah 25 tahun, 50 tahun ataupun 75, biasanya otomatis terbayang dalam pikiran kita masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Ada kecenderungan untuk mengetahui bagaimana sampai berdirinya Paroki ini. Kapan berdirinya, siapa Pastor paroki yang pertama, bagaimana situasi waktu itu,bagaimana keadaan umat waktu itu dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa dijawab dan kadang tidak bisa dijawab karena tidak ada data tertulis. Pembahan tentang 75 tahun paroki Maubesi ini akan kami sajikan dalam dua sesi. Yang pertama adalah pada zama Portugis hingga abad ke 20, dan yang kedua adalah pada era SVD yaitu dari tahun 1913 hingga sekarang.
Gereja Timor pada zaman Portugis
Portugis menguasai wilayah Indonesia pada awal abad ke enembelas, tepatnya setelah selat Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1512. Sejak saat itu mengalirlah gelombang bangsa-bangsa Eropa ke wilayah Nusantara. Bersamaan dengan datangnya kekuasaan sipil Portugis datang juga para pastor dari berbagai ordo untuk melihat kemungkinan pewartaan Injil. Tercatat tahun 1556/1559 sebagai waktu
dimana para misionaris Portugis menginjakkan kaki di Pulau Timor untuk pertama
kalinya. Dalam catatan P. Erich Bruniq
SVD disebutkan bahwa pada tahun itu Padre Frei Antonio Taveira OFM, seorang
Pastor pelaut Portugis singgah dan turun di Mahato (dekat Oekusi-Timor Leste).
Sebelum meneruskan perjalanan ke Maluku, ia membentuk suatu gereja di situ dan
mempermandikan 5000 orang. Di dalam laporannya kepada Vikaris Apostolik Malaka
ia minta, supaya misionaris dikirim ke kepulauan Solor dan Timor. Dari pusat
misi di Malaka para pastor Portugis mengunjungi Solor dan Timor. Selanjutnya
secara periodik antara tahun 1562-1590, Frei Antonio da Cruz OP mengunjungi
Pulau Timor antara lain di Bahas, Dilly, Lifao, dan Kupang. Tahun 1577
para Misionaris Dominikan melaporkan ke
Malaka, bahwa mereka telah mempermandikan kurang lebih 50.000 orang, di
Kepulauan Solor, Ende dan Timor. Tanggal 15 Oktober 1586 datang lagi tiga
misionaris ke Solor dengan kapal laut “Reis Magos” tiga misionaris baru. Mereka
inilah yang kemudian secara bergantian
mengunjungi beberapa tempat di Pulau Timor.
Setelah
lama menjadi daerah misi yang sering hanya dikunjungi dan kadang menetap untuk
beberapa waktu, akhirnya diputuskan untuk mencari tempat bagi misi menetap. Antara tahun 1589-1590 pastor Frei Melkior de
Antas OP datang ke Mena dan membentuk suatu persekutuan umat dan gereja di
situ. Disebut bahwa anak sulung Raja Mena dibawa oleh Frei Melkior de Antas OP
ke Malaka untuk dididik dalam sekolah Katolik dan sesudah tamat dipermandikan
oleh Uskup Malaka, Joao Ribeiro Gaio dengan nama Laurensius dan diantar kembali ke tanah airnya. Dalam
perkembangannya pastor Melkior mengalami sakit malaria sehingga harus pulang ke
Solor sesudah 6 bulan. Tahun 1597 Raja
Mena dipermandikan juga. Terhitung hingga tahun 1613 hampir semua Misionaris
dari Solor mengunjungi Timor yang berpusat di Mena.
Tahun
1629 Pastor Frei Cristavao Rangel OP datang dari Larantuka ke “Silabao”
(Silawan), mempermandikan Raja dengan banyak rakyatnya dan mendirikan sebuah
gereja di situ. Karena orang-orang Makasar yang ada di situ coba meracuninya,
maka ia terpaksa pulang ke Larantuka dan dapat diganti oleh Frei Bento Serao
OP. Tahun 1630, Frei Luis da Paizao OP
datang ke Kupang untuk bertemu raja Ampono, tetapi dalam waktu singkat dia
dibunuh oleh orang Nisnoni. Tanggal 12 Maret 1630 datanglah dari Malaka ke
Lohajong seorang Misionaris Dominikan bernama ANTONIO DE SANTO JASINTO OP. Ia
kemudian menjadi RASUL PULAU TIMOR. Ia yang kemudian mengunjungi Mena pada
Tahun 1639. Dicatat juga bahwa ada pastor portugis yang pernah mendarat di tanjung
Batu Putih di wilayah kerajaan Amabi, setelah melarikan diri dari Roti. Ia
membentuk sebuah gereja dan membangun sebuah sekolah di sana. Ia kemudian
pindah ke Amarasi atas permintaan raja Amarasi tapi kembali dan bekerja di
wilayah Amabi hingga meninggalnya di sana.
Tanggal
24 Juni 1641 Ratu Mena dengan anak sulungnya Johanes dan banyak rakyat lain
lagi dipermandikan oleh Frei Antonio de Santo Jasinto, setelah mereka dibantu
serdadu Portugis untuk mengatasi serbuan Raja Tello Sumbaco dari Makasar. Tanggal
1 Juli 1641 padre Frei Antonio de Santo Jasinto diminta oleh Ratu janda Ambenu untuk datang ke Oekusi. Di
sana Ratu, dan anak-anaknya dipermandikan di Lifao. Karena kebutuhan akan
misionaris di Timor semakin lama semakin banyak maka bulan Agustus tahun 1641
Padre Frei Antonio de Santo Jasinto mengirimkan dari Larantuka ke Mena Padre
Frei Bento Serrao OP dan Frei Manuel da Resuresao OP yang kemudian
ditugaskan untuk suatu gereja yang satu
jam dari pantai dan delapan jam dari pedalaman. Sementara untuk wilayah Ambenu
dikirim Padre Frei Pedro de Santo Jose, dan Padre Frei Alvaro de Tavora OP.
Keduanya bertempat tinggal di Lifao, sedangkan untuk wilayah Amanuban dikirim
Padre Frei Jasinto de Santo Dominggos OP dan Frei Crisostomo de Santiago OP.
Karena sering mengganggu orang-orang Katolik yang ada di sekitar maka para
misionaris Portugis merencanakan panaklukan dua Raja besar Timor yaitu Sonbai dan
Maromak Oan. Di bawah pimpinan Kaptain Mayor Fransisco Fernandes, Raja-raja
Sonbai kemudian dikalahkan, dan minta untuk dipermandikan di Tanjung Sombiao
(dekat Oepoli). Cara yang sama dilakukan Portugis terhadap Maromak Oan. Pada
tanggal 26 Mei 1642, Visitator Frei Lucas da Crus OP datang dengan sejumlah
tentara Portugis ke Mena dimana ia mengundang raja-raja Mena, Ambenu dan Sonbai
untuk ikut ambil bagian. Pada bulan
September 1642 Perang melawan Maromak Oan dimulai. Kerajaan Maromak Oan
diserbu, istananya dibakar, kekuasaannya dihapus lalu, Liurainya diangkat
menjadi “kesel”. Tahun 1644 Padre Frei Antonio de Santo Jasinto melebarkan
sayap ke wilayah Selatan. Tahun 1645 Frei Antonio mempermandikan di Kupang Raja
Duarte dan isterinya MARIANA, beserta Amtiran dan Ambesi. Karena Belanda mulai
mengincar Kupang maka pada thaun 1647 Padre Frei Antonio meninggalkan Kupang ke
Larantuka dan selanjutnya dipanggil untuk bertugas di Goa. Dan Kupang akhirnya dikuasai
Belanda pada tahun 1649..
Agama
Katolik selanjutnya berkembang bebas hanya di wilayah Noemuti dan Ambenu dengan
pusatnya di Lifao. Diceriterakan bahwa seorang misionaris Timor Padre Manuel de
Santo Antonio OP diangkat menjadi uskup Malaka dan pada Bulan Juni 1718 datang
kembali ke Pulau Timor dan bertempat tinggal di Lifao. Karena ada perbedaan
pendapat dengan penguasa Portugis sehingga tahun 1722 Uskup Manuel meninggalkan
Lifao dan kembali bertempat tinggal di Macao. Pada akhir tahun itu juga Tachta Suci
memutuskan, bahwa bukan saja misionaris Dominikan yang bisa bekerja di Pulau
Timor, Flores dan Solor, melainkan juga Pater-pater Jesuit dan pater-pater
serikat Salib Suci juga boleh bekerja di Timor. Ciri khas pater-pater Salib
Suci adalah bahwa dimana mereka bekerja, di situ mereka akan mendirikan sebuah
salib besar. Dalam hubungan dengan ini kita diingatkan oleh tempat-tempat di
Timor yang namanya ada hubungannya dengan salib seperti bekas-bekas salib di
Weluli, Lidak, Naitimu, Mandeu, Lasiolat, Dirma, Nunkurus dan Tanjung Kurus.
Tanggal
9 Agustus 1743, padre Antonio de Castro, Ordo Kristus, diangkat menjadi
pengganti Uskup Manuel di Macao, dan setelah itu ia datang dan tinggal di
Lifao, Ambenu, Timor Leste. Tanggal 19 Februari 1748 lagi-lagi, padre Frei
Gerardo de Santo Jose, seorang misionaris Timor diangkat menjadi Uskup Malaka.
Tahun 1750 ia ditahbiskan dan kemudian datang dan tinggal di Lifao. Di Lifao ia
mendirikan gereja Katedral dan tinggal disitu sampai kematiannya pada tahun
1762. Tahun 1749 sekelompok orang Portugis hitam berkuasa di wilayah Oekusi.
Mereka itu adalah campuran Portugis-Indonesia, mungkin berasal dari Larantuka
atau Ende. Mereka bersekutu dengan orang-orang Portugis Putih di Lifao dan
menyerang Kupang tapi tak berhasil. Tahun 1754, masih ada 10 biarawan Dominikan
yang berkarya di Timor. Kira-kira tahun 1755 Padre Antonio Bonaventura bersama
padre Jose Rodrigues Pareira dijadikan PS-Gubernur di Dily. Tahun 1769 di Timor
hanya ada delapan misionaris, dan mereka
semua pindah ke Dily sebagai pusat baru.
Tahun
1769 adalah tahun yang sangat menentukan bagi sejarah pemerintahan maupun
gereja katolik Timor kelak. Pada tahun itu orang-orang Portugis putih
meninggalkan Oekusi dan pindah menetap di Dili. Oekusi dan Lifau yang sejak
awal kedatangan Portugis menjadi pusat kegiatan misi Katolik di Timor, kini
hanya menjadi kenangan. Oekusi masih menjadi kota distrik Ambenu dan ramai,
tetapi Lifau yang dahulu menjadi pusat misi Timor di mana pernah ada sebuah
Katedral, kini sepi dan hanyalah padang rumput yang di sana sini ditumbuhi pohon
asam dan pohon kabesak tanpa pemukiman. Sejak perpindahan itu, maka Dili
menjadi pusat pemerintahan Portugis sekaligus pusat kegiatan misi Portugis di
Timor.Tercatat bahwa pada tahun 1780 terdapat 50 gereja dan kapela di seluruh
Pulau Timor.
Apakah para misionaris pernah sampai di Maubesi? Kami tidak punya data historis mengenai hal ini, tetapi kemungkinan itu ada. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tempat di bawah kaki gunung Maubesi yang disebut orang setempat dengan nama "Klusa". Kata ini berasal dari kata Portugis "Crux" yang artinya salib. Oleh orang setempat kata crux ini kemudian mengalami perubahan laval menjadi Klus ata klusa karena pengaruh bahasa daerah. Lalu kapan kira-kira para misionaris itu singgah di Maubesi? Kemungkinan pertama
adalah ketika Mena menjadi pusat perdagangan Kayu cendana sekaligus pusat
kegiatan misi Katolik di pantai utara (1589 – 1645). Kemungkinan kedua adalah ketika Noemuti menjadi pusat Pemerintahan
Portugis di pedalaman Timor (1642), setelah mengalami kekalahan dari Belanda di
wilayah barat Timor. Ketika Mena menjadi pusat perdagangan kayu cendana dan
misi Katolik serta Noemuti menjadi pusat pemerintahan Portugis di pedalaman,
mereka menjelajahi wilayah pedalaman pulau Timor untuk menemukan kayu cendana
sekaligus mewartakan agama Katolik. Kita bisa katakan bahwa pada saat itulah para misionaris itu singgah atau bahkan menetap di bawah kaki gunung Maubesi. Kemungkinan
ketiga adalah ketika pada akhir
tahun 1722 Takhta Suci memutuskan bahwa bukan saja misionaris Dominikan yang
bisa bekerja di Pulau Timor, Flores dan Solor, melainkan juga Pater-pater
Jesuit dan pater-pater serikat Salib Suci diperkenankan untuk bekerja di
wilayah-wilayah itu. Dalam catatan P.
Erich Breuniq, SVD dikatakan bahwa: salah satu ciri khas pater-pater Salib
Suci ketika berkarya di Timor adalah bahwa dimana mereka bekerja, di situ
mereka akan mendirikan sebuah salib besar. Dalam hubungan dengan ini, kita
diingatkan oleh tempat-tempat di Timor yang namanya ada hubungannya dengan
salib seperti bekas-bekas salib di Weluli, Lidak, Naitimu, Mandeu, Lasiolat,
Dirma, Nunkurus dan Tanjung Kurus, termasuk “klusa” yang berada di kaki gunung
Maubesi. Kenyataan ini memberikan indikasi bahwa kemungkinan besar Pater-pater
Salib Suci ini pernah singgah atau menetap di bawah kaki gunung Maubesi di
tempat yang oleh orang-orang Maubesi disebut “Klusa” (Crux). Hal ini masuk akal
karena satu Km dari Klusa arah puncak gunung Maubesi pernah menjadi pusat
pemukiman suku-suku Saban-Tasoe dan di sebelah barat suku muna-Oeleu, lalu di
bagian Timur ada Pusat Sonaf Maubes dan suku-suku yang ada di Kiupasan
sekarang. Dugaan ini masih harus
diteliti terus untuk mendapatkan bukti-bukti yang lebih akurat. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar