Gereja Katolik Timor Pada Masa Pendudukan Belanda:
Pasukan Belanda masuk ke Pulau Timor pada abad ke 17 tepatnya pada tahun 1649 ketika dari Solor mereka menyerang dan menguasai Kupang sebagai sebagai salah satu pelabuhan utama Timor. Dari Kupang mereka berusaha untuk menguasai Timor pedalaman khususnya di bagian Barat. Beberapa kali terjadi pertempuran antara Belanda dan Portugis yang didukung raja-raja lokal di pedalaman.
Pedalaman Pulau Timor masih dikuasai raja-raja lokal Katolik yang setia kepada Portugis. Kendala ini akhirnya terpecahkan dengan perjanjian yang kemudian disebut Kontrak Lisbon 1662. Isi perjanjian itu membagi Timor menjadi dua bagian, bagian barat untuk Belanda (VOC), sedangkan bagian Timur plus Noemuti dan Ambenu di bawah kekuasaan Portugis. Bagian Barat itu dimulai dari wilayah kabupaten Belu sekarang hingga Kupang. Dengan pembagian ini VOC meminta semua orang yang berkehendak tetap beragama Katolik harus pindah ke daerah Portugis. Agama Katolik di daerah VOC harus dihapuskan dan diganti agama Protestan-Calvanistis. Orang Timor-Dawan kemudian menyebut gereja Kristen Protestan dengan istilah Klei feu dan geraja Katolik disebut Klei mnasi. Akibat perjanjian ini juga wilayah Timor Barat dan Timor bagian Tengah selanjutnya mengalami kemunduran besar. Banyak raja dan rakyatnya terpaksa meninggalkan agama Katolik dan masuk Protestan. Banyak juga yang kembali menjadi kafir. Masa antara tahun 1662-1862 merupakan masa yang boleh disebut “Abad pertengahan yang gelap” untuk gereja Katolik di wilayah Barat Timor. Belanda (VOC) mulai perlahan-lahan menerapkan secara sungguh-sungguh dan intensif maksud kontrak 1662. Pemerintah Belanda tidak saja mengurus perdagangan dan pemerintahan tetapi juga mengontrol dengan ketat perkembangan agama dan Gereja Katolik di wilyah ini. Agama Katolik dipersulit, pelayanan terhadap sisa-sisa Katolik juga tidak ada. Keadaan umat Katolik di Netherland Indie ini menarik perhatian Gereja Katolik Belanda. Maka pada tahun 1853 Gereja Katolik Belanda mengutus Pastor Gaspar Hesele untuk menyelidiki keadaan spiritual umat Katolik di sana. Tanggal 4 Agustus 1960 datang lagi Pastor Jan Pieter Sanders dari Laiden dan menetap di Larantuka. Ketika itu ia juga mengunjungi Dili dan singgah di Atapupu. Pada Bulan Agustus tahun 1861, pengganti Pastor Sanders, yaitu Pastor Gaspar Franssen dari Tegelan mengunjungi Kapela di Atapupu. Ia menghimpun banyak informasi termasuk berita bahwa ada beberapa kerajaan kecil di Timor Tengah, diantaranya Janilo di pantai yang masih berdiri sebuah gereja Katolik sederhana, dan penduduknya masih menganggap diri mereka sebagai orang Katolik. Informasi ini kemudian diteruskan ke uskupnya. Laporan mereka dipergunakan di dalam sidang Belanda-Portugis yang menghasilkan perjanjian yang kemudian disebut “Kontrakt 1862”.
Pedalaman Pulau Timor masih dikuasai raja-raja lokal Katolik yang setia kepada Portugis. Kendala ini akhirnya terpecahkan dengan perjanjian yang kemudian disebut Kontrak Lisbon 1662. Isi perjanjian itu membagi Timor menjadi dua bagian, bagian barat untuk Belanda (VOC), sedangkan bagian Timur plus Noemuti dan Ambenu di bawah kekuasaan Portugis. Bagian Barat itu dimulai dari wilayah kabupaten Belu sekarang hingga Kupang. Dengan pembagian ini VOC meminta semua orang yang berkehendak tetap beragama Katolik harus pindah ke daerah Portugis. Agama Katolik di daerah VOC harus dihapuskan dan diganti agama Protestan-Calvanistis. Orang Timor-Dawan kemudian menyebut gereja Kristen Protestan dengan istilah Klei feu dan geraja Katolik disebut Klei mnasi. Akibat perjanjian ini juga wilayah Timor Barat dan Timor bagian Tengah selanjutnya mengalami kemunduran besar. Banyak raja dan rakyatnya terpaksa meninggalkan agama Katolik dan masuk Protestan. Banyak juga yang kembali menjadi kafir. Masa antara tahun 1662-1862 merupakan masa yang boleh disebut “Abad pertengahan yang gelap” untuk gereja Katolik di wilayah Barat Timor. Belanda (VOC) mulai perlahan-lahan menerapkan secara sungguh-sungguh dan intensif maksud kontrak 1662. Pemerintah Belanda tidak saja mengurus perdagangan dan pemerintahan tetapi juga mengontrol dengan ketat perkembangan agama dan Gereja Katolik di wilyah ini. Agama Katolik dipersulit, pelayanan terhadap sisa-sisa Katolik juga tidak ada. Keadaan umat Katolik di Netherland Indie ini menarik perhatian Gereja Katolik Belanda. Maka pada tahun 1853 Gereja Katolik Belanda mengutus Pastor Gaspar Hesele untuk menyelidiki keadaan spiritual umat Katolik di sana. Tanggal 4 Agustus 1960 datang lagi Pastor Jan Pieter Sanders dari Laiden dan menetap di Larantuka. Ketika itu ia juga mengunjungi Dili dan singgah di Atapupu. Pada Bulan Agustus tahun 1861, pengganti Pastor Sanders, yaitu Pastor Gaspar Franssen dari Tegelan mengunjungi Kapela di Atapupu. Ia menghimpun banyak informasi termasuk berita bahwa ada beberapa kerajaan kecil di Timor Tengah, diantaranya Janilo di pantai yang masih berdiri sebuah gereja Katolik sederhana, dan penduduknya masih menganggap diri mereka sebagai orang Katolik. Informasi ini kemudian diteruskan ke uskupnya. Laporan mereka dipergunakan di dalam sidang Belanda-Portugis yang menghasilkan perjanjian yang kemudian disebut “Kontrakt 1862”.
Kontrak
ini memberi kelonggaran kepada misi Katolik untuk mengembangkan diri di wilayah
Timor bagian tengah. Antara tahun 1865-1870, P. Gregor Metz SJ dibenuming
pemerintah Belanda sebagai “Pastor van Timor en de Onderhorigheden”. Dari
Larantuka tempat kediamannya, dia mengunjungi Kapela Atapupu dan berpatroli di
kerajaan Jenilu. Tanggal 8 Agustus 1874 Pastor P. Henk Dijckmann SJ mengunjungi
Atapupu. Tanggal 25 Agustus tahun itu
juga pastor Dijckmann tiba di Atapupu, di mana ia tinggal sampai tanggal 16
September tahun 1874., di Kupang Atapupu dan berpatroli di Jenilu, Harneno dan
Fialaran. Ia mempermandikan juga orang-orang Timor yang pertama pada zaman misi
modern. Hal ini dapat dibaca di buku permandian paroki Lahurus. Selanjutnya P.
Jakob Kraaijvanger, yang datang ke Larantuka pada tahun 1876, menerima wilayah
Timor sebagai tugas pokoknya, dan antara bulan September/Oktober tahun 1879,
mengadakan patrolinya yang pertama ke pulau Timor. Saat itu Dia mengunjungi
seluruh daerah Belu Utara dan pergi juga ke Batugede. Pada bulan Juli tahun
1880, P. Kraaijvanger kembali mengunjungi Atapupu dan ketika itu dia mulai
dengan suatu patroli yang sungguh-sungguh di wilayah kerajaan Jenilu, Fialaran,
dan Harneno. Bulan September tahun 1881, ketika Kembali dari Timor ia menulis
suatu laporan pastoral kepada Mgr. Claessen di Batavia dan mohon izin untuk
membuka suatu stasi di Atapupu. Tanggal 21 April/31 Juli 1883, P. Kraaijvanger
SJ mendapat izin gerejani dan sekaligus dari Gubernur-General pemerintah
Belanda di Batavia untuk membuka stasi Atapupu sebagai pusat pelayanan Rohani
orang di kerajaan Jenilu dan kerajaan Fialaran.
Pada
Tanggal 9 Januari 1883 keluar SK.Gubernur Jenderal Batavia No.44, yang isi
menempatkan dua Pastor di Atapupu. Dengan SK ini maka pada tanggal 1 Agustus
1883, STASI ATAPUPU resmi dibuka oleh P. Jakob Kraaijvanger SJ dan Br. Eduardus
Vermeulen SJ. Tahun 1886, Br. Petrus Been menggantikan Br. Vermeulen yang
dipindah ke Maumere. Bulan Desember tahun 1886, P. A de Kuijper SJ dan Br.
Johanes Hansates SJ datang dan membuka STASI LAHURUS. Tanggal 19 April 1888, P.
Kuijper meninggal dunia. Tanggal 12 Oktober 1888, Br. Been dari Atapupu pulang
ke Eropa. Bulan Desember tahun 1888,
P.W. Voogel SJ datang, dengan maksud mengisi lowongan dari P. de
Kuijper; tetapi 14 Agustus 1889 dia harus pulang ke Eropa dari Atapupu karena
sakit. Tanggal 6 Februari 1889, P. Kuijper meninggal dunia di Atapupu.
Pada masa Belanda ini Timor Tengah tidak mendapat palayanan sama sekali, termasuk Maubesi. Agama Katolik makin lama makin pudar bercampur aduk dengan tradisi dan budaya Timor dan akhirnya tidak berbekas di wilayah ini,kecuali di Noemuti dan Ambenu. Makanya pada tahun 1913 ketika P. Noyen SVD dan P. Verstraelen SVD tiba di Maubesi, dalam perjalanan patrolinya, mereka menemukan bahwa tidak ada seorang pun dari penduduk Maubesi yang mengenal agama Katolik. Zaman penjajahan Belanda merupakan zaman gelap bagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar