MAUBESI DALAM SAJARAH DAN BUDAYA

Maubesi adalah sebuah kota kecil atau tepatnya sebuah kelurahan dengan beberapa kampung, dalam wilayah kabupaten Timor Tengah Utara, Porpinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Anda diundang untuk membaca atau pun menulis ttg apa saja mengenai Maubesi.

Rabu, 21 Maret 2012

TUA MINA INSAN (TMI)


Tua mina Insan (TMI), adalah sejenis minuman yang berasal dari pohon lontar yang secara umum disebut nira. Daerah Maubesi dan sekitarnya (obe, Kiupasan dan Tualeu) adalah wilayah yang banyak ditumbuhi pohon lontar. Pohon Lontar yang memiliki nama Latinnya Borassus flabellifer ini  adalah sejenis palma (pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Pohon Lontar ini merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat, Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm. Pohon yang dalam bahasa Inggris disebut Lontar Palm ini, juga banyak terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Daerah-daerah itu antara lain: di Jawa dan Bali menyebutnya siwalan, Minangkabau menyebutnya lonta, orang Madura menyebutnya taal, orang Sasak menyebutnya dun tal, orang Sumbawa menyebutnya jun tal,  orang Sulawesi Selatan menyebutnya tala, Toraja menyebutnya lontara, orang Ambon mea mengenalnya dengan nama lontoir, orang Sumba menyebutnya manggitu dan orang Timor menyebutnya tua.
Tua Mina Insan, adalah nira yang berasal dari wilayah Maubesi, Timor. Nira ini adalah hasil sadapan dari bunga lontar. Ada dua macam air hasil sedapan bunga lontar, yaitu Tua Mina dan Tua Menu. Tua mina itu manis dan tua menu pahit rasanya. Tua mina memiliki rasa seperti jus buah, sedangkan Tua menu adalah tua mina yang telah diragi dengan akar pohon tertentu. Tua menu ini bisa memabukkan bila minum berlebihan. Tua mina akan diproses menjadi gula batu atau pun gula air, sedangkan tua menu akan diproses menjadi arak atau minuman beralkohol dengan tingkat kadar ethanol 20 % - 80 %.
Tua mina memiliki rasa manis seperti jus buah, karena itu orang setempat biasanya mengkombinasikannya dengan lauk tunu (ubi bakar). Tua mina dan lauk tunu biasanya digunakan sebagai sarapan pagi sebelum pergi ke kebun. Supaya mendapatkan nira yang bersih, jernih dan manis maka tne'e penadah air nira harus benar-benar bersih. Sedikit saja ada kotoran di tne'e itu maka manisnya pun akan berkurang. untuk itu setiap sore para penyadap nira biasanya membawa air untuk membersihkan penadah nira dan sekaligus memotong sedikit ujung batang dari bunga lontar supaya aliran nira yang keluar lewat batang bunga itu lancar. 
Misionaris pertama SVD, P. Piet Noyen pernah merasakan enaknya Tua Mina Insan, ketika dalam perjalanan dari Maubesi ke Gua Bitauni pada tanggal 22 Nopember 1913. Bersama temannya P.Arnold Verstraelen, mereka menyaksikan begitu banyak pohon lontar, yang dihiasi dengan tempayan-tempayan dipuncaknya. Tempayan-tempayan di puncak pohon itu adalah untuk menampung air nira yang akan diturunkan setiap pagi dan sore. Yang menarik bahwa mereka menyaksikan penduduk setempat dalam waktu singkat (kurang dari setengah menit) dapat mengerjakan penimbah (tempayan) dari daun lontar yang tak diserapi air. Komentar P. Piet Noyen bahwa “alam telah menyediakan segala-galanya bagi orang di sini.” (Br. Petrus Laan, SVD; hal 4). Mereka juga bertemu dengan dua anak yang membawa nira penuh dalam penimbahnya. Kedua misionaris ini pun mencoba beberapa teguk, dan rasanya seperti air buah-buahan yang tak diragi. P. Piet Noyen menuliskan kesannya bahwa “ Pater Verstraelen dan saya merasa cukup dengan beberapa teguk, tetapi Markus, pengantar kami berpikir lain. Ia menaruh penimbah yang penuh nira itu pada mulutnya dan tak disangka-sangka habis isinya. Itu bagi kami suatu teka-teki, bagaimana dalam sekejap mata ia bisa menghabiskan sekian banyak nira; kami tertawa bukan sedikit, tapi Markus duduk dengan tenang di atas kudanya, suatu tanda bahwa nira itu adalah minuman anak kecil” (Br. Petrus Laan, SVD; hal 5). Beruntung kedua misionaris  dan rombongannya bertemu TMI (tua mina insan) dan bukan TNI. Sekiranya TNI (tua nakaf Insan) yang dijumpai maka tentu rombongan ini akan berpusing-pusing sepanjang jalan menuju gua Bitauni.Tua Mina memang memiliki banyak manfaat, dan sekiranya masyarakat setempat bisa berusaha untuk memproduksi ini, maka tentu akan banyak membantu meningkatkan ekonomi mereka. Mungkin pemerintah perlu memikirkan hal ini, karena seperti kata misionaris di atas tadi bahwa alam telah menyediakan segalanya bagi orang di sini, tapi kalau orang setempat tidak memanfaatkannya, maka percuma Tuhan menyediakan itu semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar